Pemerintah tancap gas mendorong hilirisasi di berbagai sektor strategis: mulai dari perikanan, pertanian, hingga energi dan sumber daya mineral. Langkah ini bukan cuma soal investasi besar, tapi juga soal kemandirian ekonomi dan energi nasional.
Usai menghadiri Rapat Terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto dan para menteri Kabinet Merah Putih, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa pemerintah menargetkan penyelesaian 18 proyek hilirisasi strategis yang kini sudah masuk tahap pra-feasibility study (pra-FS).
“Kita percepat hilirisasi di sektor perikanan, pertanian, dan energi-mineral batu bara. Dari 18 proyek yang sudah pra-FS, arahan Bapak Presiden adalah semua diselesaikan tahun ini,” ujar Bahlil di Istana Merdeka, Kamis (6/11).
Menurut Bahlil, proyek-proyek bernilai lebih dari Rp600 triliun itu diharapkan bisa mulai beroperasi pada tahun 2026, dan akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, membuka lapangan kerja, serta mengurangi ketergantungan impor.
“Dari 18 proyek ini, kita perkirakan akan menciptakan lebih dari 270 ribu lapangan kerja baru, dan sekitar 67% lokasinya di luar Pulau Jawa. Ini bentuk nyata pemerataan pembangunan,” tambahnya.
Dari total proyek tersebut, Kementerian ESDM memegang porsi terbesar dengan 12 proyek hilirisasi, meliputi 8 proyek minerba, 2 proyek transisi energi, dan 2 proyek ketahanan energi.
Salah satu pembahasan penting dalam rapat adalah produksi Dimethyl Ether (DME) sebagai pengganti LPG impor, untuk memperkuat ketahanan energi dalam negeri.
“Kebutuhan LPG kita sekarang sekitar 1,2 juta ton per tahun, dan di 2026 bisa tembus 10 juta ton. Jadi, kita harus segera bangun industri energi dalam negeri, jangan terus bergantung pada impor,” tegas Bahlil.
Sebagai contoh nyata hilirisasi, Presiden Prabowo baru saja meresmikan proyek raksasa New Ethylene Project milik PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cilegon, Banten. Dengan nilai investasi mencapai USD 3,9 miliar (sekitar Rp62,4 triliun), proyek ini jadi yang terbesar di Asia Tenggara dan merupakan pembangunan kompleks Naphtha Cracker pertama di Indonesia dalam 30 tahun terakhir.
Fasilitas tersebut akan memproduksi etilena, propilena, dan berbagai produk turunan penting—bahan baku utama industri plastik, kimia, dan farmasi nasional.
Langkah ini mempertegas arah kebijakan Presiden Prabowo dan Kabinet Merah Putih: hilirisasi bukan lagi wacana, tapi strategi besar menuju Indonesia mandiri energi dan industri.

