Indonesia boleh bangga punya cadangan batu bara jumbo mencapai 31 miliar ton, bahkan dengan total sumber daya hingga 93 miliar ton. Tapi di balik angka fantastis itu, ternyata ada PR besar yang bikin pemerintah harus kerja ekstra: kualitas batu baranya rendah.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Surya Herjuna, dalam acara Coalindo Coal Conference di Jakarta, Rabu (5/11/2025).
“Problemnya, 73% batu bara kita itu kalori rendah. Yang kalori tinggi cuma 5%, sedangkan kalori menengah sekitar 8%,” ujar Surya.
Artinya, meskipun Indonesia dikenal sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia, daya saingnya di pasar global bisa tergerus. Soalnya, pasar internasional terutama untuk pembangkit listrik efisien lebih banyak mencari batu bara berkalori tinggi.
⚙️ Tambang Lama, Tantangan Baru
Surya menjelaskan, batu bara berkalori tinggi kebanyakan berasal dari tambang-tambang lama. Dan masalahnya, biaya produksinya makin mahal karena lokasi tambangnya sudah sulit dijangkau.
“Yang SR (strip ratio) sudah di atas 10–15, dan biasanya berada di kawasan hutan atau lahan yang susah dibuka,” jelasnya.
Dengan kondisi itu, banyak pengusaha batu bara harus memilih antara biaya produksi yang tinggi atau tetap bermain di segmen batu bara kalori rendah yang permintaannya lebih terbatas.
🌏 Ekspor Besar, Tapi Pengaruhnya Kecil di Asia
Surya juga mengungkap fakta menarik: meski Indonesia rutin mengekspor batu bara dalam jumlah besar ke China, ternyata pengaruhnya di pasar Asia tidak sebesar yang dibayangkan.
“Ekspor kita ke China itu sekitar 120 juta ton. Tapi produksi batu bara China sendiri hampir 4 miliar ton per tahun. Jadi sebenarnya dominasi kita di pasar Asia itu agak semu,” katanya.
Dengan kata lain, Indonesia memang jadi pemain besar di ekspor, tapi tidak punya kendali pasar yang kuat karena negara tujuan punya kapasitas produksi raksasa sendiri.
💬 Kesimpulan: PR Besar untuk Hilirisasi dan Efisiensi
Melimpahnya cadangan batu bara nasional semestinya menjadi aset strategis, tapi tantangan kualitas dan efisiensi membuat hilirisasi dan diversifikasi energi jadi semakin penting.
Ke depan, pemerintah dan pelaku industri perlu memastikan agar kekayaan alam ini tidak hanya habis diekspor, tapi juga memberi nilai tambah di dalam negeri misalnya lewat peningkatan teknologi pengolahan batu bara rendah kalori.
Karena kalau tidak, Indonesia bisa tetap kaya batu bara, tapi miskin daya saing.

