
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi menetapkan skema baru Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi tujuh sektor industri strategis, mencakup pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 76.K/MG.01/MEM.M/2025, yang ditandatangani oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada Rabu, 26 Februari 2025.
Menteri Bahlil menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo Subianto untuk mendukung daya saing industri dalam negeri.
“HGBT dibedakan berdasarkan pemanfaatannya, yakni USD7 per MMBTU untuk bahan bakar dan USD6,5 per MMBTU untuk bahan baku,” ujar Bahlil di Jakarta, Jumat (28/2).
Dampak Positif bagi Industri dan Perekonomian
Penetapan HGBT yang baru ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri di pasar global, menciptakan lapangan kerja baru, serta memberikan efek positif terhadap perekonomian nasional.
Dengan skema ini, harga gas bumi bagi sektor industri kini berada dalam kisaran yang lebih kompetitif dibandingkan sebelumnya, yang berada di angka USD6,75 – 7,75 per MMBTU.
Keputusan ini selaras dengan Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Selain membuat harga produk dalam negeri lebih terjangkau, kebijakan ini juga diharapkan dapat menarik lebih banyak investasi ke sektor industri nasional.
Ketua Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI), Sanny Iskandar, menyambut baik perpanjangan kebijakan ini.
“Penerapan HGBT sangat penting untuk meningkatkan daya saing kawasan industri nasional dalam menarik investor, terutama dibandingkan dengan kawasan industri di negara pesaing,” ujarnya.
HGBT untuk Kelistrikan dan Efisiensi Anggaran Negara
Selain sektor industri, pemerintah juga menetapkan HGBT untuk penyediaan tenaga listrik guna memastikan pasokan energi yang lebih kompetitif.
Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 77.K/MG.01/MEM.M/2025, yang ditandatangani pada hari yang sama. Dengan kebijakan ini, tarif listrik diharapkan tetap stabil, sementara beban subsidi energi dapat ditekan.
Sejak diterapkan pada tahun 2020, kebijakan HGBT telah menghemat biaya pokok penyediaan (BPP) listrik hingga triliunan rupiah.
Pada tahun 2022, penghematan mencapai Rp16,06 triliun, dengan subsidi listrik berhasil ditekan sebesar Rp4,10 triliun dan kompensasi listrik berkurang hingga Rp13,09 triliun.
Di sisi lain, implementasi HGBT juga mengoptimalkan efisiensi biaya operasional PLN, termasuk di PT PLN Batam yang mencatat penghematan Rp844,95 miliar pada 2023.
Peningkatan Ekspor dan Investasi
Kebijakan HGBT tidak hanya memberikan efisiensi bagi industri, tetapi juga mendongkrak ekspor, investasi, dan penerimaan pajak.
Sepanjang 2020-2023, total manfaat ekonomi yang dihasilkan mencapai Rp247,26 triliun, dengan dampak terbesar sebagai berikut:
- Peningkatan ekspor sebesar Rp127,84 triliun
- Kenaikan penerimaan pajak hingga Rp23,30 triliun
- Pertumbuhan investasi mencapai Rp91,17 triliun
Di sektor pertanian, kebijakan ini juga berhasil menekan subsidi pupuk hingga Rp4,94 triliun, yang berdampak langsung pada efisiensi anggaran negara.
Evaluasi dan Optimalisasi Implementasi
Meskipun banyak memberikan manfaat, pemerintah tetap melakukan evaluasi berkala terhadap kebijakan ini.
Sejumlah pengguna gas bumi tertentu tidak lagi masuk dalam daftar penerima HGBT karena berbagai alasan, termasuk telah mendapatkan harga gas yang lebih rendah dari USD6,5 atau USD7 per MMBTU, serta pertimbangan penerimaan bagian negara.
Pemerintah menegaskan komitmennya untuk terus berkoordinasi dengan instansi terkait guna memastikan implementasi HGBT berjalan optimal, sehingga manfaatnya dapat dirasakan lebih luas oleh industri, masyarakat, dan perekonomian nasional.