
Kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan semakin meningkat di sektor pertambangan.
Konsep Green Mining atau Penambangan Hijau kini menjadi perhatian utama, mengedepankan praktik pertambangan yang berwawasan lingkungan guna meminimalkan dampak negatif terhadap ekosistem.
Green Mining tidak hanya berfokus pada keberlanjutan selama proses penambangan berlangsung, tetapi juga memastikan pemulihan lahan setelah kegiatan pertambangan berakhir.
Tujuannya adalah untuk menekan dampak lingkungan dan sosial yang merugikan serta memaksimalkan manfaat bagi masyarakat setempat.
Green Mining dan Regulasi di Indonesia
Pemerintah telah menetapkan landasan hukum bagi praktik penambangan hijau dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Regulasi ini mewajibkan pelaku usaha pertambangan untuk melakukan pemulihan, penataan, dan perbaikan lingkungan sepanjang tahapan usaha pertambangan agar ekosistem dapat kembali berfungsi sesuai peruntukannya.
Pascatambang dan Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang
Salah satu upaya utama dalam Green Mining adalah kegiatan pascatambang, yaitu proses restorasi lahan yang telah digunakan agar kembali bermanfaat.
Salah satu cara efektif adalah melalui revegetasi, yaitu penanaman kembali tumbuhan untuk menghidupkan ekosistem yang sebelumnya terganggu.
Lahan bekas tambang yang telah direvegetasi dapat dimanfaatkan sebagai ecopark, kawasan wisata alam edukatif, perkebunan, atau reservoir untuk menampung cadangan air bagi masyarakat sekitar.
Hal ini menjadi solusi untuk memastikan bahwa kegiatan pertambangan tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi, tetapi juga berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Dengan penerapan Green Mining, industri pertambangan dapat menjadi lebih bertanggung jawab, mendukung pembangunan berkelanjutan, serta menciptakan keseimbangan antara eksploitasi sumber daya dan pelestarian lingkungan.