
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa pengesahan Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) bertujuan untuk mengembalikan roh Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini disampaikannya dalam Indonesia Economic Summit di Jakarta, Rabu (19/2).
Bahlil menyebut pengesahan UU Minerba sebagai “jihad konstitusi” untuk memastikan bahwa seluruh kekayaan alam—baik di darat, laut, maupun udara—dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
Tata Kelola Pertambangan yang Lebih Transparan
Salah satu isu utama yang ingin diselesaikan melalui revisi UU Minerba adalah tumpang tindih Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan belum terdaftarnya banyak WIUP dalam sistem Minerba One Data Indonesia (MODI). Selain itu, praktik jual beli WIUP yang tidak transparan juga menjadi perhatian.
“Melalui perubahan ini, kita ingin agar tata kelola pertambangan lebih tertata, lebih jelas, dan lebih transparan,” kata Bahlil.
Prioritas bagi Masyarakat dan Daerah
Dalam perubahan ini, mekanisme pemberian WIUP mengalami penyesuaian. Tidak semua izin akan melalui proses tender, melainkan diberikan prioritas kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan, BUMD, BUMN, UMKM, dan koperasi.
“Langkah ini bertujuan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alam di daerahnya, sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Bahlil menegaskan bahwa tambang yang telah beroperasi akan tetap berjalan, tetapi porsi yang belum tergarap harus diberikan kepada masyarakat daerah.
Hal ini untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya berpusat di Jakarta, tetapi juga merata di daerah.
Penyelesaian Sengketa dan Hilirisasi
UU Minerba yang baru juga mengatur bahwa WIUP yang masih tumpang tindih atau bersengketa di pengadilan akan dikembalikan kepada negara.
Langkah ini dilakukan untuk menciptakan kepastian hukum dan memperbaiki tata kelola pertambangan di Indonesia.
Terkait hilirisasi pertambangan, kebijakan akan diprioritaskan berdasarkan kajian mendalam untuk menciptakan nilai tambah bagi perekonomian nasional.
“Saya yakin dan percaya, kalau ini kita lakukan dengan baik, maka energi kita akan lebih stabil. Kita butuh hilirisasi, kita butuh tambahan listrik, dan yang terpenting adalah keadilan harus merata,” tegas Bahlil.
Ia menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya keseimbangan antara kepentingan investor, pengusaha daerah, serta sinergi antara pusat dan daerah demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.