Pemerintah memastikan rencana penerapan bea keluar (BK) batu bara bakal jalan, namun bukan diterapkan sembarangan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan tarif pajak ekspor batu bara ini hanya berlaku ketika harga komoditas sedang berada di level tertentu. Artinya, kalau harga lagi anjlok, bea keluar tak akan dipungut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyebut pemerintah sudah menyusun formulasi tarif beserta mekanisme penerapannya. Namun, skema finalnya belum bisa dibuka ke publik.
“Kita harus menghitung bagaimana industri tetap sustain, tetapi penerimaan negara juga optimal. Jangan sampai industri bangkrut karena ada tambahan beban,” ujar Tri.
Tri meyakinkan bahwa kebijakan ini fleksibel dan tidak akan membuat perusahaan tambang tekor. Ia memberi sinyal bahwa penerapan dimungkinkan mulai tahun depan atau bahkan lebih cepat tergantung kondisi harga global.
“Kita punya hitung-hitungan pada harga berapa dikenakan. Bisa jadi tahun depan, bisa jadi tahun depannya lagi,” tambahnya.
Dalam proses finalisasi kebijakan, ESDM masih terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan agar implementasi bea keluar berjalan mulus dan tidak membebani pelaku usaha.
Menkeu Purbaya: Royalti Batu Bara Masih Mini Dibanding Migas
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya menegaskan rencana pengenaan tarif bea keluar untuk batu bara bakal efektif pada 2026. Menurutnya, royalti batu bara yang diterima negara saat ini terlalu kecil jika dibandingkan dengan sektor minyak dan gas (migas) yang menggunakan sistem gross split.
“Kalau minyak 85:15, batu bara lebih kecil dari itu,” ujar Purbaya.
Ia juga memastikan kebijakan ini tidak bakal mengerek harga batu bara domestik.
“Enggak terpengaruh. Cuma untung mereka yang jadi lebih sedikit. Kalau mau naikin harga, ya enggak laku,” tegasnya.
Satu Nafas dengan Hilirisasi
Kementerian Keuangan melalui Dirjen Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Febrio Nathan Kacaribu ikut menguatkan bahwa bea keluar batu bara digodok sebagai strategi nasional untuk mengurangi ekspor bahan mentah.
“Tarif bea keluar ini konsisten untuk mendukung hilirisasi dan perekonomian yang lebih banyak di Indonesia,” papar Febrio.
Indonesia saat ini merupakan produsen batu bara terbesar ketiga di dunia, namun sebagian besar komoditas masih dijual mentah ke luar negeri. Kebijakan bea keluar diharapkan memacu hilirisasi dan meningkatkan nilai tambah dalam negeri, menyusul rencana serupa terhadap komoditas emas pada 2026.



