Peta kekuatan bisnis Indonesia memasuki fase baru. Jika 10 tahun lalu perusahaan nasional sibuk bertahan dari dominasi asing, kini situasinya berbalik 180 derajat. Dalam periode 2021–2025, lima emiten raksasa di Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan ekspansi agresif ke Australia bukan sebagai pemegang saham kecil, melainkan sebagai Pengendali Mutlak.
Dengan modal likuid jumbo hasil boom komoditas, para konglomerat Indonesia tak lagi sekadar mengekspor batu bara, emas, atau obat-obatan mereka mengambil alih langsung aset Tier-1 di Negeri Kanguru, sebuah langkah yang sebelumnya identik dengan raksasa industri Barat.
Berikut bedah strategi lima perusahaan Indonesia yang kini menjadi “penguasa baru” di Australia:
🔹 1. PT Pyridam Farma Tbk (PYFA) 100% Probiotec Limited
PYFA membuat gebrakan pada Juni 2024 dengan mengakuisisi 100% Probiotec Limited senilai Rp 2,7 triliun, lalu mendelisting perusahaan publik Australia itu melalui skema Scheme of Arrangement.
📌 Kenapa langkah ini spektakuler?
- PYFA tidak membangun riset bertahun-tahun mereka “membeli waktu” dengan mengambil alih fasilitas manufaktur mutakhir milik Probiotec.
- PYFA langsung mewarisi jaringan distribusi global, membuka ekspor secara instan.
🔹 2. PT Bumi Resources Tbk (BUMI) 99,68% Wolfram Limited
Oktober 2025, Grup Bakrie mencaplok 99,68% saham Wolfram Limited strategi penyelamatan bisnis jangka panjang saat masa depan batu bara termal semakin menantang.
📌 Filosofi bisnisnya jelas:
- Diversifikasi hijau: Wolfram punya aset tembaga & emas, komoditas inti transisi energi.
- Natural hedging: Pendapatan dolar Australia/AS menjadi penahan alami ketika Rupiah berfluktuasi.
🔹 3. PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) 51% Dawson Complex
Akhir 2024, DOID naik kelas. Dari kontraktor jasa tambang menjadi pemilik tambang setelah membeli 51% hak partisipasi Dawson Complex.
📌 Kenapa penting?
- Margin tebal: Pemilik menikmati keuntungan komoditas, bukan margin tipis jasa.
- Batubara metalurgi: Komoditas premium untuk baja stabil dan tahan substitusi.
🔹 4. PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) 100% Stanmore Resources
Sinar Mas bermain lebih taktis. Meski mengendalikan Stanmore Resources, DSSA tetap membiarkannya tercatat di Bursa Australia (ASX).
📌 Dampaknya luar biasa:
- Akses pinjaman global lebih murah via status publik di Australia.
- Stanmore dijadikan kendaraan akuisisi, termasuk memburu aset raksasa bekas milik BHP.
🔹 5. PT Indika Energy Tbk (INDY) 72% Nusantara Resources
Pada 2021, INDY memprivatisasi total Nusantara Resources untuk mengamankan aset emas Awak Mas di Sulawesi.
📌 Motif inti:
- Pemangkasan birokrasi: Semua kontrol investasi pindah ke Jakarta.
- Target besar: Pendapatan 50% non-batu bara pada 2025.
🔍 Kenapa emiten Indonesia “menyerbu” Australia?
Fenomena ini bukan kebetulan. Ada tiga motif strategis besar di balik pergeseran ini:
1️⃣ Timing Valuasi Disiplin ala Master Investor
Mereka tidak membeli saat harga aset tambang sedang all-time high pada boom 2022.
Mereka masuk ketika valuasi turun, memastikan financial forecast lebih sehat.
2️⃣ Tidak Semua Batubara Sama
Yang diburu adalah batubara metalurgi (coking coal), bukan batubara listrik.
Logikanya: listrik bisa digantikan tenaga surya & EBT lainnya,
tapi baja tidak bisa dibuat tanpa batubara metalurgi.
➡️ Artinya, korporasi RI sedang memosisikan diri sebagai tulang punggung industri global bukan hanya energi fosil.
3️⃣ Hedging Mata Uang & Pembiayaan Global
Dengan operasi di Australia:
- Arus kas dolar Australia/AS membuat fundamental lebih kuat saat Rupiah melemah.
- Akses kredit internasional lebih murah dibanding suku bunga domestik.
🧭 Makna Besar dari Semua Manuver Ini
Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, perusahaan Indonesia bukan sekadar bertahan dari modal asing tetapi menjadi investor besar di negara maju.
Mereka bukan hanya penjual komoditas, melainkan pemilik aset teknologi, energi, dan bahan baku industri masa depan.
Jika tren ini berlanjut, maka dekade 2020–2030 bisa menjadi era di mana:
Emiten Indonesia berubah dari pemain lokal menjadi Regional Powerhouse, bahkan Global Player.



