Indonesia kembali berada di persimpangan sejarah. Di tengah gempuran isu lingkungan dan ketimpangan ekonomi, muncul pilihan penting yang bisa menentukan nasib bangsa: mengelola sumber daya alam dengan makna, bukan sekadar mengeksploitasi.
Selama puluhan tahun, banyak negara kaya sumber daya justru ambruk akibat apa yang disebut resource curse kutukan tambang. Emas, minyak, dan mineral yang seharusnya membawa kemakmuran justru berujung korupsi, ketergantungan, dan kemiskinan. Bukan karena batu dan mineralnya, tetapi karena tidak adanya visi dan nilai tambah.
Kini Indonesia mencoba mencegah sejarah kelam itu terulang. Negeri ini memiliki salah satu harta mineral paling strategis bagi industri masa depan: REE (rare earth elements) bahan baku penting untuk baterai kendaraan listrik, magnet permanen, radar, satelit, motor presisi, dan teknologi pertahanan. Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi gunungan sampah yang terus menjadi ancaman ekologis.
Dua masalah itu tampak saling bertolak belakang. Namun, konsep baru yang diusung sejumlah kalangan menunjukkan keduanya bisa dipadukan menjadi model industri paling visioner abad ini.
Bayangkan sebuah kawasan di Indonesia Timur misalnya Bima atau NTB di mana:
- Sampah NTB–NTT menghasilkan 150–170 ton steam per jam
- Hutan energi Kalianda memasok biomassa berkelanjutan
- Batu bara muda menjaga pasokan energi jangka panjang
- Energi murah tersebut menjalankan pabrik DME (dimethyl ether) sebagai pengganti LPG rumah tangga
- Di saat yang sama berdiri pabrik pemurnian REE, memproses tailing emas dan timah menjadi bahan baku industri berteknologi tinggi
- Di hilirnya tumbuh pabrik magnet, komponen kendaraan listrik, chip, radar, dan motor industri presisi
Jika skema ini berjalan, Indonesia bukan lagi sekadar pengekspor tanah dan mineral mentah. Indonesia akan menjadi produsen teknologi global.
Inilah bentuk kedaulatan baru:
Energi mandiri. Industri mandiri. Teknologi mandiri.
Momentum ini juga membuka peluang besar bagi masyarakat lokal. Rakyat tidak hanya menjadi penonton, tetapi ikut menjadi pelaku di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dari desa dan kampung di seluruh nusantara.
Gagasan besar ini bukan sekadar proyek industry melainkan cara mengubah sumber daya menjadi rahmat, bukan kutukan. Sebab rahmat Tuhan hadir dalam banyak bentuk: sampah, batu hitam, bahkan logam asing bernama neodimium dan praseodimium.
Tantangannya kini hanya satu: apakah Indonesia akan berani melangkah?
Keputusan ada di tangan bangsa ini apakah tetap menjadi eksportir bahan mentah, atau bangkit sebagai kekuatan teknologi dunia.



