Setelah terperosok selama lima hari berturut-turut, harga batu bara akhirnya bangkit juga! Pada perdagangan Senin (15/9), si batu hitam mencatatkan penguatan tipis namun berarti.
Mengacu pada data ICE Newcastle, harga batu bara untuk kontrak pengiriman bulan depan ditutup naik 0,79% di level US$ 101,5 per ton. Meski kenaikannya belum spektakuler, ini jadi angin segar setelah terkoreksi hingga 6,37% dalam lima hari terakhir.
Sayangnya, dalam sebulan terakhir, tren masih menunjukkan pelemahan. Harga batu bara tercatat menyusut 8,56% secara point-to-point. Penyebabnya? Permintaan global yang masih lesu, terutama dari China, sang konsumen batu bara terbesar dunia.
Produksi industri Negeri Tirai Bambu hanya tumbuh 5,2% secara tahunan (year-on-year) pada Agustus, pertumbuhan paling lambat sejak Agustus 2024. Sementara itu, penjualan ritel pun melambat jadi 3,4% yoy, dari sebelumnya 3,7%. Bahkan, investasi tetap di China sepanjang Januari–Agustus tercatat turun 0,5%, jadi yang terlemah sejak masa pandemi Covid-19.
Rebound atau Koreksi Lagi?
Dari sisi teknikal, batu bara memang masih berada dalam tekanan. Relative Strength Index (RSI) berada di level 21, menunjukkan kondisi yang sudah jenuh jual (oversold). Begitu juga dengan Stochastic RSI yang menyentuh level 17, makin mengonfirmasi potensi rebound.
Jika momentum penguatan berlanjut, target kenaikan terdekat ada di US$ 105 per ton yang merupakan Moving Average (MA) 10 hari. Apabila level ini berhasil ditembus, potensi lanjut ke MA-20 di US$ 108 per ton cukup terbuka.
Namun, bila tekanan jual kembali menguat, support terdekat ada di US$ 96 per ton. Jika level ini jebol, waspadai pelemahan lanjutan ke kisaran US$ 93 per ton.
Meski saat ini harga batu bara mencoba bangkit, tren jangka pendek masih bearish. Pelaku pasar disarankan tetap waspada, sembari memantau data ekonomi global terutama dari China yang berpotensi besar menggerakkan arah harga komoditas energi ini.

