
Ambisi Belanda mengeksploitasi kekayaan alam Kalimantan Selatan pada abad ke-19 menyisakan jejak sejarah yang tak bisa dilupakan. Dimulai dari penggalian tambang batu bara di Pengaron, konflik besar pun pecah, mengobarkan Perang Banjar yang mengguncang wilayah Kesultanan Banjarmasin.
Kebutuhan energi Eropa yang kian meningkat mendorong Ratu Belanda menggelontorkan anggaran tahunan sebesar f50.000 pada 19 November 1846 untuk eksplorasi batu bara di Kalimantan Selatan. Keputusan itu didasari laporan ekspedisi ilmiah yang dilakukan geolog C.A.L.M. Schwaner bersama De Natuurkundige Commissie, yang menyebut wilayah Riam menyimpan cadangan batu bara berlimpah.
Kala itu Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur (Zuider-en Oosterafdeeling van Borneo). Eksplorasi awal dilakukan di tambang “De Hoop” dan Hermina, namun hasilnya belum memuaskan. Harapan justru tertambat pada wilayah Pengaron, yang kemudian menjadi tonggak sejarah pertambangan batu bara di Nusantara.
Melalui tekanan kepada Kesultanan Banjarmasin, Belanda berhasil memperoleh izin konsesi tambang batu bara di wilayah Pengaron, Kalangan, dan Banyu Irang pada 1849. Tambang Oranje Nassau di Pengaron diresmikan Gubernur Jenderal J.J. Rochussen pada 28 September 1849 dan langsung mencatat produksi 10.000 ton per tahun, meningkat menjadi 14.794 ton pada 1854.
Namun di balik gemilang produksi tambang Oranje Nassau, konflik justru mengintai. Ketika Sultan Adam wafat pada 1857, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai penerus karena menyetujui keberlangsungan tambang. Keputusan itu ditolak rakyat Banjar, yang mendukung Pangeran Hidayatullah. Puncaknya, meletuslah Perang Banjar pada 1859, dipimpin oleh Pangeran Antasari.
Sejarawan Nugroho Nur Susanto menyebut penolakan terhadap aktivitas tambang Oranje Nassau menjadi salah satu pemicu langsung pecahnya perang. Pasalnya, lokasi tambang berdekatan dengan tanah apanage Pangeran Antasari.
Selain itu, sistem kerja paksa di tambang menyulut amarah masyarakat. Pekerja lokal dipaksa bekerja dengan upah sangat rendah, dan mereka yang dianggap malas kerap mendapat hukuman cambuk. Eksploitasi ini menjadi simbol penindasan kolonial yang memicu perlawanan rakyat.
Konflik berkepanjangan membuat Belanda secara sepihak membubarkan Kesultanan Banjarmasin, meski semangat perlawanan rakyat Banjar tetap menyala selama bertahun-tahun.
Kini, Kalimantan Selatan dikenal sebagai salah satu penghasil batu bara terbesar di Indonesia, namun sejarah mencatat bahwa perjalanan panjang industri ini dibayar mahal oleh konflik dan penderitaan rakyat.