
Setelah sempat terbang tinggi dalam tiga hari beruntun, harga batu bara akhirnya tumbang juga. Merujuk data dari Refinitiv, pada perdagangan Selasa (30/9/2025), harga batu bara terkoreksi tipis 0,18% ke level US$ 108,55 per ton.
Meski terlihat kecil, penurunan ini cukup signifikan karena memutus tren kenaikan selama tiga hari terakhir yang sempat mengangkat harga batu bara hingga 3,91%.
Sepanjang September 2025, harga batu bara tercatat turun 0,95% lebih dalam dibandingkan pelemahan di Agustus yang hanya minus 0,64%. Arah pasar kini cenderung sideways, terjebak tarik-menarik antara suplai melimpah dan permintaan yang terus melemah, terutama dari kawasan Asia.
Pasokan Melimpah, Permintaan Lesu
Salah satu penyebab utama harga yang terus melemah adalah penurunan permintaan dari Asia. Sementara itu, produksi global tetap tinggi, menciptakan tekanan pasokan yang sulit dikendalikan.
Bank Dunia bahkan memproyeksikan harga batu bara bakal merosot 27% secara tahunan (year-on-year) di 2025 dibandingkan 2024, dan kembali turun 5% pada 2026. Ini menjadi sinyal kuat bahwa tren bearish belum akan berakhir dalam waktu dekat.
Di perbatasan Ganqimaodu pintu ekspor utama Mongolia ke China stok batu bara menumpuk akibat lambatnya pengiriman. Impor batubara kokas (coking coal) dari Mongolia ke China juga dilaporkan menyusut sekitar 18%, khususnya pengiriman darat. Meski begitu, total impor batu bara kokas China (jika tidak termasuk Mongolia) justru meningkat.
Namun, pembeli di China mulai menunjukkan resistensi terhadap harga tinggi. Kenaikan harga batu bara dinilai bisa menekan margin produsen baja dan menggerus daya beli. Alhasil, permintaan pun melemah.
Golden Week Bikin Pasar Makin Sepi
Menjelang libur panjang Golden Week (1–8 Oktober 2025), pasar batu bara China makin lesu. Aktivitas perdagangan melambat karena para pelaku pasar memilih wait and see. Banyak pembeli utilitas menahan pembelian, sementara beberapa trader mencoba mencairkan keuntungan sebelum pasar benar-benar sepi.
Situasi ini diperparah dengan stok batu bara di pelabuhan yang meningkat, membuat perusahaan memilih menghentikan atau menunda pembelian sampai setelah liburan.
Secara keseluruhan, pasar batu bara thermal di Asia berada dalam tekanan. Kelebihan pasokan dan permintaan yang lemah membuat harga sulit bangkit. Para penjual bahkan terpaksa menawarkan kargo spot dengan diskon besar agar barang bisa bergerak.
Energi Terbarukan Makin Gencar, Batu Bara Tertekan
Di balik semua itu, perubahan tren energi juga memainkan peran. Konsumsi batu bara di China konsumen terbesar dunia mulai melemah seiring pertumbuhan energi terbarukan dan perlambatan permintaan listrik domestik.
Artinya, bukan hanya faktor jangka pendek seperti liburan atau stok melimpah, tapi juga faktor struktural jangka panjang yang bisa menekan harga batu bara di masa depan.