
Volume ekspor batu bara Indonesia mengalami penurunan pada semester I-2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Data Minerba Online Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM mencatat, ekspor merosot 6,13% dari 198,13 juta ton pada semester I-2024 menjadi 185,98 juta ton di periode yang sama tahun ini.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Fathul Nugroho mengakui, tren tersebut terjadi seiring melemahnya permintaan dari pasar global, khususnya dua importir utama: China dan India.
“Apabila mengacu kepada data ESDM, penurunan volume ekspor batu bara semester I-2025 tidak sampai 21%. Memang terjadi penurunan permintaan dari pasar global saat ini,” ujar Fathul, Minggu (10/8/2025).
Menurutnya, penyebab utama pelemahan ekspor adalah lonjakan produksi batu bara domestik di negara tujuan. IEA melaporkan, China meningkatkan produksi secara masif demi ketahanan energi nasional. India juga mencatat rekor tertinggi produksi batu bara pada tahun fiskal 2024-2025, sehingga mengurangi ketergantungan pada impor.
Selain itu, harga batu bara acuan internasional ikut tertekan. Indonesian Coal Index (ICI) tercatat turun sekitar 20% year to date hingga awal Juli 2025. Untuk ICI 4 (batu bara 4.200 GAR), harga anjlok ke kisaran US$ 40,68 per ton pada awal Juli.
“Banyak eksportir menahan penjualan untuk menghindari kerugian,” jelas Fathul.
Namun, ada sedikit kabar positif. Dalam empat pekan terakhir, harga ICI 4 mulai rebound tipis menjadi sekitar US$ 41,92 per ton pada awal Agustus 2025. Fathul menilai harga tersebut telah menyentuh garis support yang menjadi patokan biaya produksi sebagian besar produsen.
Pasar batu bara global kini menghadapi tantangan kelebihan pasokan, terutama dari China, India, Mongolia, serta persaingan harga ketat dari Rusia dan Australia.
Meski demikian, Aspebindo tetap optimistis ekspor batu bara nasional akan pulih pada semester II-2025. “Kami perkirakan harga ICI 4 hingga akhir 2025 bisa naik 10–20% dari harga awal Agustus, mencapai US$ 45–48 per ton. Ini akan menjadi sinyal positif bagi eksportir untuk kembali meningkatkan volume penjualan,” pungkas Fathul.