
Awak kapal sedang menyalurkan gas elpiji 3 Kg saat tiba di pelabuhan pulau Karimunjawa, Jepara, Jawa tengah. Suplai gas Elpiji 3 Kg secara berkesinambungan tersebut menjamin ketersediaan energi di beberapa tempat yang terpencil.
Pemerintah tengah mematangkan kebijakan baru untuk menetapkan harga Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram menjadi satu harga secara nasional mulai tahun 2026. Langkah ini diambil untuk menciptakan harga LPG subsidi yang lebih terjangkau, merata, dan adil, sekaligus menutup celah distribusi yang selama ini menyebabkan lonjakan harga di lapangan.
Usulan kebijakan ini disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR RI pada Rabu (2/7/2025). Menurut Bahlil, aturan tersebut akan dimuat dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 dan Perpres Nomor 38 Tahun 2019, yang mengatur penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga LPG subsidi.
“Kami akan mengubah beberapa metode agar kebocoran tidak terjadi. Termasuk soal harga, kita bahas dalam Perpres agar ditetapkan satu harga saja, supaya tidak ada gerakan tambahan di bawah,” ujar Bahlil.
LPG Satu Harga: Meniru Skema BBM Satu Harga
Bahlil menegaskan, kebijakan satu harga ini akan menyederhanakan rantai pasok dan memastikan subsidi LPG tepat sasaran kepada kelompok penerima yang berhak, seperti rumah tangga miskin, usaha mikro, nelayan, dan petani. Dengan begitu, harga LPG di tingkat konsumen akhir tidak lagi bervariasi secara ekstrem antarwilayah.
Berdasarkan temuan di lapangan, harga eceran tertinggi (HET) LPG 3 kg yang seharusnya berkisar Rp16.000–Rp19.000 per tabung, sering kali dijual hingga Rp50.000, terutama di wilayah terpencil. Ketimpangan ini mendorong pemerintah untuk mentransformasi tata kelola LPG secara menyeluruh.
Wamen ESDM: Terapkan Per Provinsi
Wakil Menteri ESDM Yuliot menambahkan, penetapan satu harga akan direplikasi dari model BBM Satu Harga, dan akan diterapkan secara bertahap di tiap provinsi.
“Nanti kita evaluasi untuk setiap provinsi. Jadi ditetapkan satu harganya agar tidak ada disparitas lagi di tingkat konsumen,” ujar Yuliot.
Transformasi Subsidi: Berbasis Penerima Manfaat
Kebijakan ini juga mencakup transformasi subsidi LPG 3 kg agar berbasis penerima manfaat, bukan lagi berbasis komoditas. Artinya, hanya warga yang terdaftar dalam data resmi (misalnya melalui DTKS atau sistem digital) yang berhak membeli LPG bersubsidi.
“Kalau harganya naik terus, antara harapan negara dan kenyataan di lapangan tidak akan sinkron,” tegas Bahlil.
Pemerintah akan mempertimbangkan kesiapan data, infrastruktur, serta kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sebelum implementasi penuh dilakukan pada 2026.
Dengan langkah ini, subsidi LPG 3 kg diharapkan benar-benar dirasakan oleh masyarakat miskin, sekaligus menekan kebocoran anggaran yang selama ini bisa mencapai puluhan triliun rupiah per tahun.